PENTINGNYA KONSISTENSI DALAM PENDIDIKAN BERBASIS ADAB
By : R. Noorahmat Pudyastomo, Ph.D
Pendidikan Islam tidak sekadar bertujuan untuk menciptakan generasi yang unggul secara akademik, tetapi juga membangun karakter dan akhlak yang luhur melalui pendidikan berbasis adab. Salah satu unsur penting dalam proses ini adalah peran guru yang konsisten dalam menerapkan nilai-nilai moral dan etika dalam kegiatan pembelajaran. Konsistensi dalam sikap dan perilaku guru menjadi kunci dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul di era disrupsi dan globalisasi abad ke-21, di mana perubahan terjadi dengan sangat cepat dan sulit di prediksi. Dalam hal ini peran guru tidak hanya di emban oleh guru di institusi Pendidikan, namun juga orang-tua sebagai guru di institusi keluarga serta tokoh masyarakat sebagai guru dalam institusi lingkungan keagamaan dan kemasyarakatan.
Imam Malik rahimahullah, seorang ulama besar dalam sejarah Islam, menegaskan pentingnya adab sebagai fondasi utama sebelum seseorang mempelajari ilmu (Al-Ghazali,2005). Dalam konteks pendidikan modern, pernyataan ini semakin relevan mengingat era disrupsi membawa tantangan baru berupa banjir informasi tanpa batas dan sering kali tanpa filter. Kondisi ini memerlukan figur guru-guru yang mampu memberikan konsistensi keteladanan agar murid memahami batasan dan konsekuensi moral dari setiap tindakan mereka. Guru-guru yang konsisten menjadi benteng moral spiritual yang kokoh bagi murid dalam menghadapi tantangan seperti hedonisme, liberalisme, sekularisme, radikalisme, dan lain-lain beserta dampak negatif teknologi digital dalam kehidupan keseharian.
Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’lim al-Muta’allim menegaskan bahwa kedisiplinan dan ketertiban dalam pendidikan hanya dapat terwujud jika semua guru konsisten dalam menegakkan aturan (Az-Zarnuji, 2008). Di tengah arus informasi dan distraksi teknologi digital, murid mudah kehilangan fokus dan arah. Konsistensi guru dalam menerapkan norma dan pranata kedisiplinan akan sangat membantu murid untuk tetap fokus pada tujuan pembelajaran dan menjaga kestabilan psikologis mereka di tengah badai tantangan global yang dihadapi.
Menurut Ibn Khaldun (2005), stabilitas dalam proses pendidikan sangat tergantung pada pola perilaku guru yang konsisten di atas jalan keteladanan. Di era globalisasi, murid dihadapkan pada tantangan identitas akibat interaksi intensif dengan berbagai budaya yang berbeda melalui derasnya arus informasi di internet, media elektronik dan media sosial. Guru yang konsisten mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman secara mental maupun spiritual, sehingga murid memiliki identitas pribadi yang kokoh serta mampu menghadapi tantangan dalam pembentukan identitas generasi muda Islam dengan penuh percaya diri.
Lebih jauh lagi, konsistensi guru merupakan perwujudan prinsip ihsan dalam Islam, yakni melakukan setiap tindakan dengan kualitas terbaik dan penuh keikhlasan (Al-Ghazali, 2005). Sebuah sikap yang hanya berharap Ridha Allah SWT sehingga kapanpun dan dimanapun senantiasa konsisten karena keyakinan akan supervisi ketat dari Allah SWT.
“(Ihsan adalah) Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak bisa melihat-Nya, sungguh Dia melihatmu.”
(HR Muslim. No.8).
Pada abad ke-21, di mana interaksi antar budaya semakin intensif, prinsip ihsan ini sangat penting untuk membantu murid mengatasi dilema moral dan etika yang muncul dari globalisasi. Guru yang menjalankan prinsip ihsan secara konsisten tidak hanya memenuhi tanggung jawab profesionalnya, tetapi juga menjadi panutan dalam menghadapi berbagai isu moral yang kompleks.
Penelitian pendidikan modern mendukung pentingnya konsistensi guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang produktif dan efektif (Marzano, Marzano, & Pickering, 2003). Di era digitalisasi, tantangan seperti kecanduan gadget, cyberbullying, dan dis-informasi menjadi masalah serius yang dihadapi murid maupun pendidik. Konsistensi pendidik (guru dan orang-tua murid) dalam menegakkan aturan dan kedisiplinan akan membantu murid mengembangkan kemampuan mengelola diri secara mandiri, bertanggung jawab, dan kritis terhadap berbagai informasi yang mereka terima.
Namun demikian, konsistensi tidak boleh dimaknai sebagai kekakuan atau sikap otoriter tanpa kelenturan disaat harus beradaptasi dengan situasi dan kondisi kekinian. Dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Imam Al-Kabisi (2003) menjelaskan bahwa guru ideal adalah yang mampu menggabungkan ketegasan dalam manhaj (prinsip) dengan kelembutan dalam uslub (pendekatan pedagogis). Di era disrupsi, kemampuan guru untuk fleksibel namun tetap konsisten teramat sangat dibutuhkan. Guru perlu arif dan bijaksana dalam menentukan kapan harus tegas dan kapan harus lembut, kapan harus menarik dan kapan harus mengulur, agar murid mendapatkan dukungan proporsional secara emosional dalam menghadapi berbagai tekanan kehidupan modern tanpa merasa dikekang diantara ragam
pilihan ma’ruf maupun munkar yang dihamparkan oleh disrupsi informasi.
Lebih dalam lagi, konsistensi guru juga merupakan bentuk jihad nafs (perjuangan melawan hawa nafsu). Tantangan abad ke-21 sering kali menempatkan guru dalam situasi penuh tekanan dan dilema moral. Guru yang mampu menjaga konsistensinya di tengah situasi ini sejatinya sedang menjalani perjuangan spiritual besar untuk memberikan keteladanan terbaik bagi muridnya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten, walaupun sedikit” (HR. Bukhari & Muslim), maka sikap konsisten guru bernilai spiritual tinggi dan dapat menjadi inspirasi kuat bagi murid.
Secara praktis, lembaga pendidikan Islam perlu secara serius memberikan pelatihan dan pengembangan kompetensi guru dan juga orang-tua murid terkait aspek konsistensi ini. Dalam menghadapi tantangan abad ke-21, pendidik harus dibekali dengan strategi pedagogis yang adaptif terhadap perubahan sekaligus tetap literatif berlandaskan nilai-nilai Islam yang kokoh. Pelatihan seperti ini akan membantu pendidik dalam menjaga konsistensinya mendidik murid, sehingga tujuan pendidikan Islam untuk menciptakan generasi muda yang unggul secara akademik, moral, dan spiritual dapat tercapai secara optimal.
Dengan demikian, konsistensi peran pendidik dalam pendidikan berbasis adab menjadi sangat krusial di era disrupsi dan tantangan global abad ke-21. Konsistensi ini tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menjaga kestabilan lingkungan pendidikan, tetapi juga sebagai investasi jangka panjang dalam menciptakan generasi muda Islam yang kuat secara moral, intelektual, dan spiritual. Sekaligus memastikan keberlanjutan estafeta dakwah amar ma’ruf nahi munkar hingga Allah SWT mentakdirkan dikumpulkannya seluruh manusia yang mencintai dan dicintai Allah Ar Rahman di Jannah-Nya.
Referensi
Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya Ulumuddin (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Kabisi, M. (2003). Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Az-Zarnuji, B. (2008). Ta’lim al-Muta’allim Tariq at-Ta’allum. Beirut: Dar Ibn Hazm.
Ibn Khaldun. (2005). Muqaddimah (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Firdaus.
Marzano, R. J., Marzano, J. S., & Pickering, D. J. (2003). Classroom Management That Works.
Alexandria, VA: ASCD.